Vemale.com - Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.
***
Perkenalkan Inisial nama saya adalah ASN. Saya berasal dari Kota Ambon yang terletak di Provinsi Maluku, Indonesia Timur. Saya merupakan anak dari pasangan Ayah Syehk dan Ibu Farida. Saya memiliki 7 saudara dan anak ke-7 dari 8 bersaudara. Saya tetap menghitung jumlah anak dari keluarga kandung, walaupun kakak laki-laki sulung telah tiada sejak dia berusia 5 tahun.
Mengapa? Karena saya tidak ingin melupakan kakak sulung saya yang sendirian di alam sana.
Kembali ke topik bahwa adakah yang dijaga olehmu? Atau pernahkah menjaga seseorang di saat masih single? Jawabannya adalah iya pernah dan masih berlanjut hingga detik ini di tahun 2018 yang akan segera berakhir.
Pada tahun 1999, kota Ambon mengalami kerusakan parah akibat kerusuhan. Risikonya adalah kami sekeluarga harus segera mengungsi untuk meninggalkan kota tercinta dan menetap sementara di kampung ayah yaitu Kampung Banda Naira yang terkenal dengan keindahan laut dan popularitas tanaman Pala yang telah terdengar hingga ke benua Eropa.
Di kampung tersebut, kami tinggal tanpa ayah dan hanya dengan mama serta nenek. Ayah harus berjuang menafkahi keluarga dengan bekerja di kota Ambon. Masa kecil yang kesepian tanpa kehadiran ayah tidak langsung membuat kami kakak beradik menyerah akan kehidupan.
Hari-hari di kampung Banda terasa menyenangkan. Bersama nenek yang merupakan ibu dari ayah kami, selalu menemani kami saat di rumah tanpa ibu. Dikarenakan siang hari, ibu harus bekerja untuk meringankan beban ayah dengan menjual ikan.
Saat itu, usia saya masih berusia 5 tahun tetapi saya masih bisa mengingat bagaimana masa kecil bersama nenek, ibu, abang dan adik di kampung tersebut. Kemungkinan asupan gizi ibu yang bergizi ketika mengandung saya, akhirnya saya memiliki ingatan tajam pada usia tersebut.
Di usia sangat anak-anak tersebut, saya bertugas setiap hari untuk membuang kotoran hajat (air kencing) nenek. Di malam hari, nenek kesulitan pergi ke kamar mandi untuk buang hajat kecil, sehingga terpaksa di kamar harus tersedia ember untuk menampungnya.
Cerita kehidupan saya ini adalah benar adanya. Ya. Seorang anak yang berusia 5 tahun yang tidak jijik untuk membuang kotoran tersebut.
Apakah ada alasan di balik buang hajat kecil di kamar? Iya, alasan lainnya adalah minimnya listrik yang mana hanya menggunakan lampu minyak atau lilin, dan letak kamar mandi yang berada terpisah dengan rumah yang berjarak dua meter.
Nenek Ima adalah nama beliau. Yang nama lengkapnya adalah Rahima N. Beliau sudah tidak mampu untuk berjalan dengan lancar, sehingga kemananapun beliau ingin pergi maka saya selalu diajak untuk menemani beliau. Dengan dibantu tongkat beliau, nenek dan saya sering mengunjungi rumah anak bungsu beliau yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah yang kami tinggali dan atau beristirahat di sore hari di halaman belakang rumah yang sangat luas.
Saat kota Ambon telah damai dan tenteram, maka orangtua pun memutuskan untuk kembali ke Ambon. Saya rindu kota tercinta saya. Kota Ambon adalah surgaku, tempat lahirku.
Di Ambon, orangtua dari ibu masih hidup. Suatu ketika, nenek yang bernama Moru jatuh di kamar mandi sehingga paman dan ibu harus bergantian memandikan dan menyuapi makanan ke nenek.
Saya yang telah menginjak usia 16 tahun pun harus ikut membantu ibu dan paman dalam merawat nenek. Saya bersekolah di sekolah berasrama dan terkenal di kota Ambon yaitu SMA Siwalima Ambon. Di SMA tersebut, para siswa/i diizinkan pulang hanya di hari Sabtu.
Ketika pulang, setiap Minggu pagi, saya sempatkan waktu untuk ke rumah nenek dan kakek untuk membantu meringankan paman dan ibu. Mulai dari memandikan, memakaikan pakaian , membersihkan tempat tidur dan rumah, dan menyuapi nenek, saya lakukan dengan ikhlas. Dalam pikiran saya, suatu saat nanti adalah pasti saya akan berusia seperti nenek, dan dari perlakuan saya yang perhatian kepada nenek dan kakek maka di kemudian hari, anak-anak saya akan memperlakukan saya dengan baik pula.
Pertanyaan di benak pembaca pasti juga adalah, "Mengapa yang lain tidak ikut membantu?" Jawabannya adalah mereka tidak terbiasa dan hanya saya cucu perempuan yang punya nilai sosial lebih ke sesama serta sifat tidak pernah menganggap itu jijik.
Ternyata, di balik itu semua saya menjadi seorang mahasiswa tenaga kesehatan di kota pendidikan Malang, Jawa Timur. Tahun 2005 Nenek Ima telah berpulang ke rahmat Illahi dan menyusul pula kepergian nenek Moru pada tahun 2015. Apakah masih ada yang dijaga? Iya masih ada, dan siapakah itu? Mereka adalah ayah dan ibu.
Sejak kecil saya tidak pernah merasakan kasih sayang kakak perempuan, hanya kakak lelaki saja. Kakak perempuan telah menikah di saat usia saya masih 7 atau 8 tahun. Namun, hal itu membuat saya untuk belajar mandiri. Semua pelajaran sejak SD hingga saya berhasil masuk SMA terkenal adalah dengan diri sendiri dan doa keluarga. Saya jarang meminta bantuan kakak lelaki, dan lebih menyukai membaca sendiri di kamar atau perpustakaan sekolah.
Tahun demi tahun berganti dan saat ini saya sedang berada di luar kota Ambon untuk menempuh pendidikan apoteker di tanah Sunda. Saya telah menganggap bahwa saya adalah kakak sulung perempuan untuk adik perempuan saya dan kakak lelaki.
Oleh karena itu, saya harus menjaga baik apa yang akan saya lakukan demi diikuti oleh adik perempuan. Bukan berarti, saya tidak bebas menjalani kehidupan pribadi saya, akan tetapi semua itu telah termasuk dalam rencana kegiatan prioritas kehidupan saya.
Yang belum menikah adalah abang keempat, saya, dan adik perempuan. Saat ini, kedua orangtua masih sehat di kota Ambon.
Prioritas orang yang dijaga adalah ayah dan ibu. Mengapa? Karena dilihat dari usia bahwa anak-anak harus menemani masa tua mereka. Selain itu, hanya saya yang berada dalam lingkaran dunia kesehatan, maka seluruh anggota keluarga kandung mempercayakan bahwa saya yang harus merawat karena lebih pandai mengetahui kebutuhan mereka. Apakah itu adalah beban? Saya tidak menganggapnya beban.
Saya berdoa bahwa rezeki saya akan melimpah luar biasa dalam pekerjaan sebagai apoteker dan menemukan pendamping hidup yang memahami dan menghormati keputusan ini serta karier berdua kami cemerlang agar maksimal dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan kedua orang tua kami. Kelak, saya juga akan menjaga mertua saya. Mertua adalah orangtua suami yang harus saya sayangi seperti orangtua kandung.
Orang-orang terdekat yang saya jaga akan memberikan kontribusi nilai tersendiri bagi saya dengan Yang Maha Kuasa kelak. Untuk itulah, saya selalu ikhlas dalam melakukan perbuatan mulia tersebut. Semoga kita menjadi anak, istri, ibu yang berbakti bagi keluarga dan juga hamba yang dicintai oleh Sang Pencipta.
(vem/nda)BACA JUGA YANG INI
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Merawat Keluarga Bukanlah Beban, Melainkan Sumber Keberkahan"
Post a Comment