Vemale.com - Jika diberikan pilihan mengenai apa yang ingin dilakukan di dunia ini adalah ingin membuat kedua orang tua terus tersenyum dan terus bahagia, khususnya Ayah. Merasa bahwa mereka telah melakukan yang terbaik hingga saya berada di titik ini, memberikan dukungan penuh terhadap apa yang saya ingin lakukan, dan sabar dalam menghadapi tingkah anaknya yang terkadang berada di luar batas. Sungguh, rasanya sangat berat jika berada di posisi mereka.
Pernah di suatu hari ketika akan berangkat ke sekolah, hari itu turun hujan sangat deras. Kami tinggal di desa, di mana jalanannya masih berupa tanah yang apabila turun hujan menjadikannya berlumpur. Sangat tidak mungkin untuk memakai kendaraan ketika akan keluar rumah.
Satu-satunya kendaraan yang kami miliki adalah sepeda, dan yang saya ketahui sepeda itu ada sejak Ayah saya berada di sekolah menengah atas. Dengan sepeda itulah bersama Ayah, saya melewati berbagai macam keadaan. Di jalanan yang berlumpur dan terkadang licin itu, Ayah selalu berusaha agar tidak jatuh ketika mengantar saya ke sekolah. Namun pada waktu itu, ternyata takdir mengatakan bahwa saya akan terjatuh dari sepeda yang dikendarai oleh Ayah. Saya menangisi baju yang kotor, dan saya juga memarahi orang telah berjuang untuk kehidupan saya kala itu. Namun, Ayah tidak pernah memarahi saya, beliau meminta maaf dan menyuruh saya agar berhenti menangis.
Ayah adalah sosok yang penyayang. Beliau selalu mengantarkan saya dengan sepedanya hingga lorong kelas di waktu hujan. Namun, saya selalu marah apabila Ayah melakukannya. Kenapa? Karena teman-teman saya mengejek bahwa saya adalah anak yang manja. Kehidupan anak-anak memang demikian. Saya tidak mengetahui maksud Ayah yang sebenarnya, yaitu tidak menginginkan sepatu yang saya kenakan terkena lumpur dan kotor apabila hanya mengantarkan ke pintu masuk sekolah. Ya, lagi-lagi saya tidak menyadari ketulusan yang dilakukan Ayah, yang saya dengarkan hanyalah perkataan anak-anak yang ingin diperlakukan seperti saya oleh orang tuanya. Hal ini baru saya sadari setelah sekian lama. Tentu saya sangat menyesal.
Waktu kecil di lingkungan tempat tinggal kami belum ada listrik, sehingga setiap minggu pagi Ayah berangkat untuk menambah energi listrik pada akumulator agar anak dan istrinya bisa menonton televisi. Saat-saat itulah yang menjadikan kebersamaan dengan Ayah semakin berharga. Entah kenapa rasanya sangat bahagia walaupun bagi anak-anak yang lain itu sangat membosankan ataupun tidak menarik. Memeluk pinggang Ayah rasanya seperti memeluk guling yang paling nyaman yang ada di dunia.
Ketika lebaran tiba, kami pergi ke beberapa sanak keluarga yang lain, yang masih memungkinkan untuk dijangkau. Ayah tidak pernah mengeluh ataupun bersedih, membawa kami ketika lebaran untuk berjalan-jalan dengan mengayuh sepedanya. Jalanan yang dilewati pun beberapa kali menanjak tinggi, yang kemudian ibu meminta untuk turun dan berjalan di belakang kami. Banyak sekali motor yang berlalu lalang melewati kami. Namun apa daya, kami hanya mampu berdoa agar di lebaran selanjutnya kami menjadi lebih baik.
Bersyukur, doa kami dikabulkan oleh-Nya. Sehingga keluarga kami memiliki sepeda motor. Usiaku pun bertambah, hingga tiba waktunya untuk melanjutkan ke sekolah menengah. Impian ibu adalah dapat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Sehingga beliau tidak mengizinkanku untuk bersekolah yang dekat dengan lingkungan rumah. Beliau mengatakan bahwa di luar sana, banyak sekali hal-hal yang akan memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk masa depan saya nanti. Walaupun awalnya saya menolak, namun pada akhirnya saya menurutinya, untuk bersekolah di luar dari kabupaten tempat saya tinggal. Tepatnya di kota, dan hal tersebut menandakan saya harus berpisah sementara dengan kedua orangtua saya.
Perjuangan kedua orangtua saya belum selesai, karena sulitnya mengurus anak nakal yang berada di perantauan. Ketika saya merindukan sosok keduanya dan meminta mereka untuk datang ketika akhir pekan, mereka pun langsung menurutinya. Kala itu saya belum memiliki uang elektronik, sehingga jika uang jajan saya habis, mereka akan datang untuk mengisi ulang kembali.
Sekarang, saya baru menyadari bahwa dulu saya hanya memikirkan diri saya sendiri. Tidak pernah berpikir untuk mengerti keadaan orangtua saya. Selain sebagai orangtua, mereka juga memiliki tanggung jawab lain di tempat yang berbeda. Dan yang sering terjadi adalah mereka lebih mementingkan saya dibanding tanggung jawab lain tersebut. Ya, lagi-lagi baru menyadarinya sekarang dan menyesal.
Hari demi hari berlanjut hingga tiba waktu untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Ayah mengizinkanku untuk melanjutkan pendidikan di seberang pulau, yang perjalanannya membutuhkan waktu lebih dari 20 jam jika menggunakan bus, dan hanya satu jam jika menggunakan pesawat. Ayah mengantarkanku untuk pertama kalinya berada di sini, di tempat tinggalku yang baru. Ayah sebelumnya tidak mengetahui apapun tentang daerah ini, walaupun termasuk daerah yang cukup terkenal di Indonesia. Namun, takdir membawa kami untuk bersama seseorang yang ternyata bisa membantu kami mengatasi kebingungan ini.
Senang bisa membuat Ayah bangga dengan pencapaianku sekarang, yang sebenarnya baru dimulai dan saat ini sedang berjalan.
Ayah, perjuangan untuk menghadapi hidup belum selesai. Terima kasih untuk dukunganmu selama ini. Terima kasih untuk jembatan yang engkau bangun agar anakmu bisa melewati jurang pembatas. Ayah, engkau selalu mengantarkan anakmu menuju impiannya. Maka, mohon doakanlah agar mampu mengantarkanmu menuju tempat yang sangat ingin kau tuju. Ayah, izinkanku membawamu untuk mengelilingi dunia yang sempit ini, karena dunia yang luas sedang kita lewati bersama.
BACA JUGA YANG INI
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ayah, Sepeda, dan Sekeping Kenangan yang Tersimpan Indah"
Post a Comment